Mengapa AI begitu mengkhawatirkan di kampus-kampus Amerika?
Sementara universitas-universitas Amerika berinvestasi besar-besaran dalam kecerdasan buatan, mulai dari University of Georgia hingga University of Michigan, sebuah survei nasional mengungkapkan kenyataan yang mengejutkan. Warga Amerika, jauh dari menerima revolusi ini, menunjukkan ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap integrasi AI di kampus.

Singkatnya
- Lebih dari setengah warga Amerika menganggap AI berdampak negatif terhadap pembelajaran mahasiswa.
- 46% berpikir bahwa penggunaan AI oleh dosen melemahkan dukungan akademik.
- Bahkan Generasi Z, yang akrab dengan AI, tetap skeptis.
- 40% percaya AI menurunkan nilai gelar universitas.
AI Membagi Opini di Universitas Amerika
Sejak 2023, universitas-universitas Amerika telah melipatgandakan inisiatif seputar AI. University of Georgia menjadi pelopor dengan menerapkan Microsoft Copilot di seluruh kampus dan memberikan penghargaan atas inovasi dalam pedagogi AI.
Michigan mengikuti dengan menciptakan alatnya sendiri, sementara Arizona State bermitra langsung dengan OpenAI.
Namun, terlepas dari kemajuan ini, opini publik tetap berhati-hati. Menurut studi Varying Degrees 2024, 53% warga Amerika percaya bahwa penggunaan AI oleh mahasiswa merugikan pembelajaran mereka.
Hanya 27% yang menganggap AI dapat memberikan efek positif, dan hampir seperlima tidak melihat dampak yang signifikan. Di kalangan dosen, temuan serupa: 46% responden percaya AI melemahkan kualitas dukungan yang diberikan kepada mahasiswa.
Skeptisisme ini tidak mengejutkan. Memang, beberapa dosen masih menghukum, terkadang secara keliru, karya yang dicurigai dihasilkan oleh AI.
Pada saat yang sama, beberapa mahasiswa cenderung terlalu bergantung pada alat seperti ChatGPT atau Grammarly, yang mengaburkan batas antara penggunaan yang bijak dan ketergantungan teknologi.
Generasi Z, Lebih Skeptis dari yang Diharapkan
Orang mungkin berpikir bahwa Generasi Z, yang lahir dengan smartphone dan media sosial, akan secara spontan mengadopsi kecerdasan buatan. Namun, data menunjukkan cerita yang berbeda. Hanya 19% dari usia 17–18 tahun yang percaya AI meningkatkan pembelajaran di universitas, delapan poin lebih rendah dari rata-rata nasional.
Yang lebih mencolok, 54% menilai penggunaan AI oleh dosen berdampak negatif, skeptisisme yang lebih kuat dibanding generasi sebelumnya.
Selain itu, kehati-hatian ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih dalam: nilai gelar. Memang, 73% warga Amerika masih percaya pendidikan tinggi menawarkan pengembalian investasi yang baik.
Namun, 40% khawatir AI menurunkan nilai gelar, terutama karena banyak pekerjaan “white collar” seperti analis keuangan, konsultan, atau asisten, dapat langsung tergantikan oleh algoritma.
Di balik statistik ini terdapat pertanyaan mendasar: apakah AI mengancam dimensi manusia dalam pendidikan? Studi terbaru yang dilakukan oleh Northwestern University, bekerja sama dengan Hertie Institute for AI applied to health, memperkuat keraguan ini.
Pada tahun 2024, hampir 13,5% publikasi biomedis sudah menunjukkan jejak penggunaan ChatGPT atau alat serupa, menimbulkan keraguan tentang transparansi dan integritas akademik.
Kecerdasan buatan menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di kampus-kampus Amerika, penerapannya berkembang pesat, namun kepercayaan tumbuh dengan lambat. Tantangannya tidak hanya terbatas pada teknologi: ini juga menyentuh budaya, politik, dan kredibilitas pengetahuan itu sendiri. Akankah pendidikan tinggi mampu mengubah AI menjadi sekutu pedagogis, atau akan tetap menjadi ancaman bagi masa depan akademik?
Disclaimer: Konten pada artikel ini hanya merefleksikan opini penulis dan tidak mewakili platform ini dengan kapasitas apa pun. Artikel ini tidak dimaksudkan sebagai referensi untuk membuat keputusan investasi.
Kamu mungkin juga menyukai
Laporan Mingguan IOSG: Beberapa Pemikiran tentang Musim Altcoin pada Siklus Ini

Berita trending
LainnyaHarga kripto
Lainnya








