Dengan berupaya mengisolasi para rivalnya, Donald Trump justru bisa mendapatkan efek sebaliknya. Di bawah tekanan sanksi perdagangannya, negara-negara blok BRICS yang selama ini terpecah mulai menjalin pendekatan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seiring meningkatnya ketegangan, China, India, Rusia, dan mitra-mitra mereka tampak lebih bersedia dari sebelumnya untuk bekerja sama secara ekonomi dan diplomatik.
Sejak kembali ke Gedung Putih, Donald Trump memilih untuk menghadapi BRICS secara langsung melalui kebijakan perdagangan agresif, yang ditandai dengan kenaikan tarif yang belum pernah terjadi sebelumnya. Angka-angka berbicara sendiri dan menggambarkan strategi yang benar-benar bersifat hukuman:
Ajay Srivastava, mantan pejabat senior perdagangan India, menunjukkan bahwa sanksi ini justru memicu front bersama: “mereka memberi insentif bersama untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat, meskipun agenda mereka berbeda”.
Menghadapi tekanan eksternal ini, negara-negara aliansi BRICS merespons secara konvergen. Bank sentral kelompok ini telah meningkatkan pembelian emas, dan perjanjian perdagangan bilateral dalam mata uang nasional (yuan, rupee, rubel) semakin banyak. Momentum yang dulunya sporadis ini kini menjadi strategi yang disengaja untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Seiring meningkatnya ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat, para pemimpin utama anggota BRICS bersiap menunjukkan persatuan mereka di KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang akan diadakan di Tianjin, China.
Untuk pertama kalinya dalam enam tahun, direncanakan KTT trilateral antara China, India, dan Rusia. Kremlin mendorong ke arah ini, berharap untuk “memperkuat inti aliansi BRICS” dan meredakan ketegangan historis antara New Delhi dan Beijing. Ini adalah upaya sengaja untuk mengonsolidasikan inti kelompok dalam menghadapi tekanan Barat.
Inisiatif ini disertai dengan sinyal relaksasi bilateral. Beijing dan New Delhi, yang lama berselisih soal perbatasan sepanjang 3.500 kilometer, telah membuka kembali penerbangan langsung, mempermudah akses visa, dan terlibat dalam diskusi mengenai pasokan rare earth, sektor di mana China menguasai lebih dari 85% kapasitas pemrosesan dunia.
Selama kunjungan resmi, Menteri Luar Negeri China Wang Yi menegaskan bahwa China berkomitmen meningkatkan pengiriman ke India, yang penting bagi industri pertahanan dan transisi energi India.
Namun, rasa saling curiga tetap ada, terutama karena kedekatan Beijing dengan Islamabad dan proyek bendungan China yang kontroversial di Dataran Tinggi Tibet, yang menjadi kekhawatiran New Delhi. Kompleksitas geopolitik ini membatasi ruang lingkup pendekatan yang sebenarnya, terutama karena India masih sangat bergantung pada pasar Amerika, dengan ekspor sebesar $77,5 miliar ke AS pada 2024, jauh lebih besar dibandingkan ke China atau Rusia.
Namun, di balik ketegangan tersebut, tampaknya logika pragmatis mulai muncul. BRICS tidak lagi sekadar platform ideologis. Blok ini menjadi ruang kerja sama dengan geometri variabel, berfokus pada perdagangan, keuangan, dan rantai pasok. Dengan demikian, proyek penyelesaian dalam mata uang lokal, kampanye “Buy BRICS”, dan ambisi mereformasi tata kelola global (khususnya melalui WTO) menjadi bukti. Sementara proyek mata uang tunggal BRICS masih tertunda, alternatif terhadap dolar mulai terbentuk.