Pasar gas alam Asia sedang mengalami perubahan besar, didorong oleh perpaduan antara meningkatnya permintaan energi, keharusan dekarbonisasi, dan pergeseran geopolitik. Di pusat transformasi ini terdapat lonjakan proyek infrastruktur lintas negara dan kemitraan, yang mendefinisikan ulang arsitektur energi kawasan. Dari ekspansi jaringan pipa besar-besaran di China hingga aliansi berbasis LNG Jepang dengan Asia Tenggara, taruhannya tinggi bagi investor dan pembuat kebijakan.
Asia Gas Tracker mengungkapkan adanya 98.000 kilometer jaringan pipa gas yang sedang dikembangkan di Asia Timur, Selatan, dan Tenggara, bersama dengan 137 terminal LNG dan 377 gigawatt pembangkit listrik tenaga gas [1]. Lonjakan infrastruktur ini bukan hanya soal skala, tetapi juga penempatan strategis. India, misalnya, diproyeksikan akan mengalami peningkatan permintaan LNG sebesar 60% pada tahun 2030, didorong oleh pembangkit listrik tenaga gas dan transportasi [2]. Demikian pula, Bangladesh dan Thailand sedang memperluas infrastruktur LNG untuk mendiversifikasi sumber energi dan mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Investasi China juga sangat transformatif. Central Asia–China Gas Pipeline, yang kini memasuki fase keempat, sedang memperluas kapasitas menjadi 85 miliar meter kubik per tahun, memastikan aliran gas yang stabil dari Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kazakhstan [3]. Sementara itu, jaringan pipa West-East dan Sichuan-East sedang ditingkatkan untuk memperbaiki distribusi domestik, mengatasi tantangan penyimpanan gas kronis di China [4].
Dinamika energi kawasan semakin dibentuk oleh kemitraan yang melampaui batas negara. Jepang, misalnya, telah memperdalam hubungan dengan Malaysia dan Indonesia pada tahun 2025, dengan fokus pada penangkapan karbon, hidrogen hijau, dan infrastruktur LNG [5]. Upaya ini merupakan bagian dari kerangka kerja “Asia Zero Emissions Community” (AZEC), yang menyelaraskan kepentingan komersial Jepang dengan tujuan dekarbonisasi regional. Tokyo Gas, Osaka Gas, dan JERA secara kolektif telah berinvestasi sebesar $93 miliar dalam proyek LNG sejak 2013, menegaskan peran mereka sebagai pusat energi regional [6].
Korea Selatan juga beralih arah, dengan ekspansi jaringan pipa ke Rusia dan Asia Tengah untuk mendiversifikasi impor dan memperkuat keamanan energi [7]. Sementara itu, jaringan pipa lintas negara Vietnam dari Malaysia dan Indonesia sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi industrinya [8]. Kolaborasi ini menyoroti tren yang lebih luas: gas alam kini bukan sekadar bahan bakar, tetapi juga alat geopolitik, memungkinkan negara-negara mengantisipasi risiko pasokan dan menegaskan pengaruh.
Global LNG Capacity Tracker menyoroti AS sebagai kekuatan dominan dalam kapasitas ekspor LNG baru, menyumbang 95% dari proyek yang disetujui pada tahun 2025 [9]. Proyek seperti Corpus Christi dan Golden Pass mendorong lonjakan ekspor AS ke Asia, yang diperkirakan akan menyerap 70% LNG global pada tahun 2030 [10]. Pergeseran ini membentuk ulang dinamika perdagangan: India, Indonesia, dan Jepang dapat mengurangi surplus perdagangan mereka dengan AS sebesar 20% melalui peningkatan pembelian LNG [11].
Namun, AS bukan satu-satunya pemain. Timur Tengah dan Asia Pasifik juga mengembangkan proyek LNG mereka sendiri untuk memenuhi permintaan, dengan kesepakatan midstream Jafurah senilai $11 miliar milik Saudi Arabia bersama Global Infrastructure Partners menjadi contoh keterlibatan sektor swasta berskala besar [12]. Perkembangan ini menandakan pasar LNG multipolar, di mana persaingan dan kerja sama berjalan berdampingan.
Meski prospeknya optimis, risiko tetap ada. Hambatan infrastruktur, seperti keterbatasan kapasitas takeaway Permian Basin, dapat menunda ekspor LNG AS [13]. Demikian pula, ketegangan geopolitik—seperti perselisihan harga di jaringan pipa Central Asia–China—menyoroti rapuhnya proyek lintas negara [14].
Namun, peluangnya sangat besar. Pasar jaringan pipa gas alam Asia-Pasifik diproyeksikan tumbuh dengan CAGR 13,15%, mencapai $19,85 miliar pada tahun 2033 [15]. Investor juga perlu mencermati munculnya model hibrida, seperti GasCo dan SGEI di Singapura, yang memadukan modal publik dan swasta untuk menstabilkan rantai pasok dan memungkinkan impor rendah karbon [16].
Pasar gas alam Asia kini bukan lagi catatan kaki dalam transisi energi global—ia adalah pemain utama. Kolaborasi lintas negara dan investasi infrastruktur tidak hanya memenuhi kebutuhan energi saat ini, tetapi juga meletakkan dasar bagi masa depan energi yang lebih tangguh, beragam, dan berkelanjutan. Bagi investor, pesannya jelas: ini adalah pasar di mana pandangan strategis dan kelincahan akan menentukan keberhasilan.
Sumber:
[1] Asia Gas Tracker,
[2] The new energy equation: Why LNG is vital to the future of ...
[3] Central Asia–China gas pipeline,
[4] China prioritizes gas infrastructure expansion in 2025 amid storage challenges,
[5] Hydrogen News from Asia (March 2025),
[6] Japan's LNG pivot to Southeast Asia is more greed than green,
[7] Gas Pipeline Infrastructure Market by Applications,
[8] Asia-Pacific Natural Gas Pipeline Market by Applications ...,
[9] Global LNG Capacity Tracker – Data Tools,
[10] How Asia Is Boosting Global Natural Gas Consumption,
[11] ENERGY ASIA: ASEAN may become net LNG importer by early-2030s,
[12] Aramco Signs $11 Billion Jafurah Midstream Deal with International Consortium Led by Global Infrastructure Partners,
[13] 2025 Oil and Gas Industry Outlook,
[14] The politics of cross-border pipelines: Considering ...,
[15] Natural Gas Pipelines 2025-2033 Trends,
[16] APAC Energy Pulse – June 2025