Pasar kripto sedang menyaksikan pergeseran besar. Ethereum, yang selama ini berada di bawah bayang-bayang Bitcoin di kalangan institusi, kini melampaui rivalnya dalam aktivitas derivatif, arus masuk ETF, dan adopsi korporasi. Ini bukan sekadar reli jangka pendek—melainkan realokasi modal struktural yang didorong oleh model utilitas Ethereum, kejelasan regulasi, dan potensi menghasilkan imbal hasil.
Open interest derivatif Ethereum mencapai rekor $10 miliar pada Q3 2025, dengan CME ether futures saja untuk pertama kalinya melampaui $10 miliar [1]. Tonggak ini mencerminkan lonjakan partisipasi institusi: jumlah pemegang open interest besar (yang memegang >1.000 ETH) mencapai rekor 101, naik dari hanya 30 di awal 2024 [2]. Sementara itu, open interest derivatif Bitcoin tetap stagnan di $12 miliar, menegaskan adanya pergeseran alokasi modal yang jelas [2].
Pertumbuhan ini tidak terbatas pada futures saja. Kontrak micro ether kini melebihi 500.000 kontrak aktif, menandakan partisipasi luas dari investor institusi maupun ritel [4]. Lonjakan ini didorong oleh peran Ethereum sebagai “aset penghasil imbal hasil”, dengan hasil staking sebesar 4,5–5,2% yang menarik minat treasury korporasi dan ETF [1].
ETF Ethereum telah menjadi primadona baru bagi investor institusi. Pada Agustus 2025 saja, mereka menarik arus masuk sebesar $3,69 miliar, sementara ETF Bitcoin mengalami arus keluar sebesar $171 juta [3]. Perbedaan ini bukan kebetulan. Model utilitas Ethereum—yang didukung oleh mekanisme staking dan ekosistem DeFi—menawarkan penghasilan aktif, berbeda dengan profil Bitcoin yang tidak menghasilkan imbal hasil [2].
Dukungan regulasi semakin memperkuat tren ini. CLARITY dan GENIUS Acts di AS telah menyediakan kerangka hukum bagi ETF Ethereum, memungkinkan mereka mengelola aset sebesar $27,6 miliar [1]. Sebaliknya, ETF Bitcoin semakin dipandang sebagai “safe haven” di lingkungan suku bunga rendah, namun mereka tidak menawarkan penghasilan yang diinginkan institusi [2].
Adopsi institusi terhadap Ethereum semakin diperkuat oleh aktivitas treasury korporasi. Hingga Agustus 2025, sebanyak 36,1 juta ETH ($17,6 miliar) telah di-stake oleh treasury korporasi, menciptakan siklus penguatan sendiri antara hasil staking dan keamanan jaringan [1]. Lonjakan staking ini juga menciptakan “kekosongan pasokan”, karena akumulasi institusi melampaui penerbitan bersih Ethereum [2].
Pembaruan Pectra dan Dencun semakin memperkuat dinamika ini. Konsumsi energi turun 99%, dan peningkatan skalabilitas membuat Ethereum semakin menarik sebagai aset infrastruktur [1]. Sementara itu, keterbatasan pasokan dan kurangnya utilitas pada Bitcoin membuatnya rentan terhadap daya tarik multidimensi Ethereum.
Dari sudut pandang teknis, Ethereum siap untuk breakout. RSI6 di angka 23,18 pada Q3 2025 menunjukkan kondisi oversold, yang secara historis terkait dengan rebound pada Q4 [1]. Penutupan mingguan di atas $4.700—ambang psikologis penting—dapat memicu fase bull baru [1].
Target harga institusi memperkuat optimisme ini. Lembaga keuangan besar memproyeksikan harga Ethereum berkisar antara $7.500 hingga $25.000 pada 2028, didorong oleh arus masuk ETF, pertumbuhan DeFi, dan evolusi Ethereum menjadi aset penghasil imbal hasil [4]. Kebijakan dovish Federal Reserve dan tekanan inflasi global semakin meningkatkan daya tarik Ethereum sebagai lindung nilai terhadap devaluasi mata uang [1].
Lonjakan derivatif Ethereum, adopsi korporasi, dan momentum teknis menandakan penataan ulang mendasar di pasar kripto. Institusi tidak lagi memandang Ethereum sebagai aset spekulatif, melainkan sebagai aset digital inti dengan utilitas tingkat infrastruktur dan penghasil pendapatan. Seiring pergeseran arus modal dari Bitcoin ke Ethereum, investor yang memposisikan diri sekarang berpotensi mendapatkan keuntungan dari tren bull multi-tahun.
Data menunjukkan dengan jelas: Ethereum bukan sekadar mengejar—tetapi memimpin perubahan.