Kebijakan Federal Reserve yang terus berkembang pada tahun 2025 telah menciptakan titik balik penting bagi mata uang Asia dan aset pasar berkembang (EM). Dengan inflasi inti PCE sebesar 2,9% pada Juli 2025—di atas target 2% namun mulai stabil—pasar memperkirakan kemungkinan 87% pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan bulan September, dengan pelonggaran lebih lanjut yang diharapkan hingga akhir tahun [1]. Namun, perubahan kebijakan yang dovish ini dibayangi oleh tekanan inflasi yang terus-menerus akibat tarif era Trump dan ketidakpastian geopolitik, menciptakan lanskap yang kompleks bagi volatilitas FX Asia dan posisi EM.
Pendekatan hati-hati Fed terhadap pemangkasan suku bunga telah menyebabkan terciptanya keseimbangan rapuh di pasar global. Sementara Indeks Dolar AS (DXY) melemah pada Agustus 2025, mata uang Asia seperti rupee India (INR) dan rupiah Indonesia (IDR) menunjukkan ketahanan yang beragam. Sebagai contoh, INR menghadapi tekanan turun akibat tarif AS sebesar 25% pada ekspor India, yang dapat mengurangi pertumbuhan PDB India sebesar 0,5–1% [2]. Sebaliknya, yuan Tiongkok (CNY) tetap stabil di tengah intervensi PBOC, dengan ING memperkirakan apresiasi bertahap seiring menyempitnya spread imbal hasil AS-Tiongkok [3].
Penekanan Fed pada “tetap waspada” terhadap inflasi juga memengaruhi bank sentral regional. Bank Indonesia memangkas suku bunga acuannya menjadi 5,25% pada Juli 2025, sementara Bank Negara Malaysia menurunkan suku bunga overnight menjadi 2,75%, mencerminkan tren yang lebih luas di mana pembuat kebijakan EM merespons pelemahan dolar dan ketidakpastian perdagangan [4]. Kebijakan moneter yang berbeda-beda ini telah menciptakan peluang asimetris bagi investor, khususnya pada mata uang dengan fundamental kuat dan eksposur tarif yang dapat dikelola.
Saham pasar berkembang dan aset yang terhubung dengan dolar telah menarik arus masuk signifikan pada Q3 2025. Indeks MSCI Asia ex-Japan naik 2,6% year-to-date, didorong oleh arus modal sebesar $12 billion seiring melemahnya dolar AS [5]. Sektor seperti manufaktur berbasis AI, komputasi awan, dan efisiensi energi mencatat kinerja lebih baik, diuntungkan oleh diskon valuasi dan pertumbuhan laba yang kuat [6]. Sebagai contoh, sektor elektronik Vietnam mendapatkan daya tarik karena tarif AS pada barang Tiongkok mengalihkan rantai pasokan ke Asia Tenggara [7].
Obligasi yang terhubung dengan dolar dan utang mata uang lokal juga menawarkan peluang menarik. Obligasi pemerintah Thailand mencatat kinerja lebih baik pada Juli 2025 karena inflasi yang rendah dan sinyal dovish dari bank sentral, sementara obligasi Tiongkok tertinggal karena investor beralih ke saham [8]. Penyempitan gap imbal hasil AS-Tiongkok semakin meningkatkan daya tarik obligasi EM, dengan stabilitas CNY mengurangi biaya lindung nilai bagi investor asing [9].
Volatilitas mata uang Asia memerlukan strategi lindung nilai yang kuat. Untuk INR, yang terdepresiasi ke 86,23 pada Juli 2025 di tengah arus keluar modal terkait tarif, opsi mata uang dan rotasi sektor menjadi sangat penting [10]. Demikian pula, eksposur CNY terhadap ketegangan perdagangan AS-Tiongkok memerlukan alat seperti forward dan collar untuk mengurangi risiko dari potensi tarif 60% pada impor Tiongkok [11].
Investor di IDR harus memantau bias dovish Bank Indonesia dan arus masuk asing ke pasar utang, yang telah mendukung posisi tertinggi rupiah selama tujuh bulan [12]. Sementara itu, tren de-dolarisasi yang lebih luas—terlihat dari bank sentral Global South yang mendiversifikasi cadangan—dapat memberikan angin segar jangka panjang bagi mata uang EM [13].
Interaksi antara pemangkasan suku bunga Fed dan volatilitas FX Asia menawarkan risiko dan peluang bagi investor taktis. Sementara tarif AS dan ketegangan geopolitik menciptakan hambatan, siklus pelonggaran Fed dan ketahanan ekonomi EM menghadirkan peluang nyata pada mata uang seperti IDR dan CNY, serta saham dan obligasi yang terhubung dengan dolar. Keberhasilan bergantung pada lindung nilai yang dinamis dan pemahaman mendalam tentang dinamika perdagangan regional. Menjelang simposium Jackson Hole dan pertemuan Fed bulan September, investor harus menyeimbangkan volatilitas jangka pendek dengan potensi jangka panjang reposisi Asia dalam ekonomi global multipolar.
Sumber:
[1] PCE Inflation Data Passes First Test Of Fed Rate-Cut Shift ...
[2] Core inflation rose to 2.9% in July, as expected, key Fed ...
[3] Asia FX Talking: North Asia continues to outperform - ING Think
[4] On the ground in Asia-Monthly Insights: Asian Fixed Income July 2025
[5] The Impact of Fed Rate-Cut Hopes on Asian Equity Volatility
[6] Asia-Pacific Markets Poised for Strategic Rebalancing as...
[7] How US Tariffs on Southeast Asia Could Impact China's...
[8] On the ground in Asia-Monthly Insights: Asian Fixed Income July 2025
[9] Asia FX - The impact of Fed's easing cycle and more
[10] India's Rupee Volatility Amid U.S. Tariff Uncertainty and...
[11] Hedging Yuan Exposure in a Volatile Landscape
[12] EMERGING MARKETS-Asian currencies jump as dollar eases on Fed rate-cut bets
[13] The U.S. Dollar's Fragile Positioning: Navigating Dovish Policy