Pertemuan Federal Reserve pada September 2025 telah menjadi titik fokus bagi para investor, dengan pasar memperkirakan kemungkinan 85% terjadinya pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin di tengah pasar tenaga kerja yang rapuh dan tekanan inflasi akibat tarif [3]. Potensi pelonggaran ini mencerminkan upaya penyeimbangan yang rumit: mendukung lapangan kerja sekaligus menjaga dari risiko inflasi yang kembali meningkat. Bagi aset berisiko, implikasinya sangat besar, menawarkan peluang sekaligus jebakan untuk penempatan strategi.
Pernyataan kebijakan terbaru The Fed menyoroti FOMC yang terpecah, dengan pihak yang tidak setuju seperti Christopher Waller dan Michelle Bowman mendorong tindakan segera untuk mengatasi pasar tenaga kerja yang “melemah” dan Conference Board Leading Economic Index (LEI) yang turun ke 98,7, menandakan risiko resesi [1]. Sementara inflasi inti tetap tinggi di 3,1%, didorong oleh tekanan biaya akibat tarif, ekonomi secara keseluruhan diproyeksikan tumbuh 1,6% pada 2025 [2]. Perbedaan ini—antara persistensi inflasi dan moderasi pertumbuhan—telah menciptakan persimpangan kebijakan. Sikap hati-hati Ketua The Fed Jerome Powell, yang menekankan pendekatan “berhati-hati” terhadap pemotongan suku bunga, menyoroti keengganan bank sentral untuk bereaksi berlebihan terhadap volatilitas jangka pendek [4]. Namun, dengan tingkat pengangguran naik menjadi 4,2% dan pertumbuhan lapangan kerja pada Juli 2025 hanya sebesar 73.000, alasan untuk pelonggaran semakin mendesak [1].
Data historis menunjukkan pola yang jelas: saham berkapitalisasi besar, terutama di sektor berdurasi panjang seperti teknologi, cenderung mengungguli selama siklus pemotongan suku bunga [5]. Saham Mag-7 (Alphabet, Amazon, Apple, Meta, Microsoft, Nvidia, Tesla) telah memasukkan banyak optimisme ini ke dalam valuasinya, dengan valuasi mereka meningkat seiring investor mengantisipasi tingkat diskonto yang lebih rendah [3]. Saham pertumbuhan, yang berkembang di lingkungan suku bunga rendah, kemungkinan akan mendapat manfaat lebih lanjut jika The Fed benar-benar melakukan pemotongan pada September. Sebaliknya, saham nilai dan pendapatan tetap jangka pendek mungkin akan kesulitan karena aliran modal masuk ke aset berdurasi lebih panjang [5].
Untuk penempatan strategis, menambah bobot pada sektor teknologi berbasis AI dan energi terbarukan tampak bijaksana. Sektor-sektor ini tidak hanya sejalan dengan tren pertumbuhan sekuler tetapi juga mendapat manfaat dari biaya pinjaman yang lebih rendah dan peningkatan investasi korporasi [3]. Pasar negara berkembang dan Jepang, dengan saham yang masih undervalued, juga menawarkan peluang menarik saat modal global mencari imbal hasil di dunia dengan suku bunga rendah [5]. Namun, investor harus tetap berhati-hati terhadap eksposur berlebihan pada saham berkapitalisasi kecil, yang meskipun secara historis tangguh dalam siklus pelonggaran, telah berkinerja buruk dibandingkan saham berkapitalisasi besar dalam beberapa siklus terakhir akibat ketidakpastian ekonomi [4].
Obligasi high-yield menawarkan daya tarik ganda: imbal hasil yang menarik dan potensi apresiasi modal. Dengan Bloomberg U.S. High Yield Index menawarkan yield to worst sebesar 7,3%—dibandingkan dengan imbal hasil laba S&P 500 sebesar 4,7%—obligasi ini semakin kompetitif [3]. Secara historis, obligasi high-yield telah memberikan rata-rata pengembalian 4,44% dalam 18 bulan setelah pemotongan suku bunga The Fed, selama tidak terjadi resesi [2]. Pemotongan suku bunga pada September 2024, yang menurunkan peluang resesi, telah memperkuat argumen ini [3].
Secara strategis, investor sebaiknya mempertimbangkan pendekatan seimbang: memperpanjang durasi obligasi secara selektif sambil mempertahankan jatuh tempo jangka pendek hingga menengah untuk mengurangi risiko reinvestasi [5]. Diversifikasi ke infrastruktur global dan pemilihan saham aktif di sektor yang berorientasi konsumen dapat semakin meningkatkan imbal hasil. Untuk lindung nilai inflasi, TIPS dan komoditas tetap penting, mengingat risiko yang masih ada dari tarif dan gangguan rantai pasok global [5].
S&P 500 secara historis mencatat pengembalian sekitar 14,1% dalam 12 bulan setelah pemotongan suku bunga The Fed pertama, dengan saham berkapitalisasi besar mengungguli rekan-rekan berkapitalisasi menengah dan kecil [5]. Namun, lonjakan volatilitas dalam tiga bulan sebelum pemotongan awal menunjukkan perlunya penempatan defensif. Sementara itu, obligasi high-yield telah menunjukkan ketahanan dalam siklus pelonggaran non-resesi tetapi menghadapi risiko penurunan signifikan jika penurunan ekonomi semakin cepat [2].
Keputusan The Fed pada September kemungkinan akan membentuk arah aset berisiko pada 2025. Untuk saham, fokus sebaiknya tetap pada sektor pertumbuhan dan peluang global, sementara obligasi high-yield menawarkan premi imbal hasil yang menarik. Namun, investor harus tetap waspada terhadap upaya penyeimbangan The Fed—di mana langkah yang salah dapat memicu kembali inflasi atau memperdalam kelemahan pasar tenaga kerja. Seperti yang ditunjukkan sejarah, penempatan strategis selama pemotongan suku bunga memerlukan keyakinan sekaligus fleksibilitas.
Sumber:
[1] The Conference Board Leading Economic Index® for the US in July 2025
[2] The Fed's Big Cut May Favor High Yield Bonds
[3] Federal Reserve Rate Cuts: Reshaping Equity and Bond Markets
[4] Small-Caps, Large-Caps, and Interest Rates
[5] U.S. Equity Market Performance Following the First Fed Funds Rate Cut