Inflasi pengeluaran konsumsi pribadi inti (core personal consumption expenditures/PCE) ekonomi AS diperkirakan akan mencapai puncaknya sebesar 2,9% pada Juli 2025, menurut proyeksi ekonomi terbaru yang dikumpulkan oleh Bureau of Economic Analysis dan para peramal sektor swasta. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dari tingkat core PCE saat ini sekitar 2,1%, mencerminkan tekanan yang terus-menerus dari kendala rantai pasokan, kenaikan biaya sektor jasa, dan inflasi upah yang berkelanjutan di berbagai industri utama [1].
Analis mengaitkan kenaikan yang diperkirakan pada inflasi core PCE dengan beberapa faktor. Pendekatan bertahap Federal Reserve dalam memperketat kebijakan moneter, dikombinasikan dengan permintaan konsumen yang kuat, telah menjaga tekanan inflasi tetap tinggi. Harga sektor jasa, khususnya di bidang transportasi, layanan kesehatan, dan akomodasi, menjadi kontributor utama. Selain itu, harga energi tetap mendekati level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan penurunan produksi di wilayah pengekspor minyak utama [1].
Menanggapi lonjakan inflasi yang diproyeksikan, Federal Open Market Committee (FOMC) telah memberikan sinyal sikap hati-hati, dengan para pembuat kebijakan mengindikasikan kemungkinan kenaikan suku bunga pada kuartal ketiga 2025. Namun, bank sentral juga mengisyaratkan pendekatan yang lebih terukur jika tekanan inflasi mulai mereda sebelum akhir tahun. Pendekatan bersyarat ini mencerminkan keinginan The Fed untuk menghindari pengetatan berlebihan, yang dapat berisiko menyebabkan resesi berkepanjangan [2].
Proyeksi tingkat core PCE sebesar 2,9% pada Juli 2025 akan menjadi level tertinggi sejak lonjakan inflasi awal 2022, meskipun masih di bawah puncak 3,4% yang tercatat pada 2022. Para ekonom mencatat bahwa komposisi inflasi telah bergeser, dengan penekanan lebih besar pada jasa daripada barang, mencerminkan perubahan struktural yang lebih luas dalam ekonomi AS. Pergeseran ini mempersulit kebijakan moneter, karena inflasi jasa kurang responsif terhadap intervensi tradisional dari sisi permintaan [3].
Pelaku pasar secara cermat memantau kurva imbal hasil Treasury AS dan data ketenagakerjaan untuk menilai langkah The Fed selanjutnya. Selisih imbal hasil Treasury 10 tahun dan 2 tahun telah mendatar, yang berpotensi menjadi indikator perlambatan ekonomi yang akan datang. Sementara itu, nonfarm payrolls menunjukkan kekuatan yang berkelanjutan, dengan rata-rata pendapatan per jam naik pada tingkat tahunan 3,8%, berkontribusi pada ekspektasi berlanjutnya inflasi yang didorong oleh upah [4].
Puncak inflasi yang akan datang juga diperkirakan akan berdampak internasional, khususnya di pasar negara berkembang, di mana arus modal dapat melambat jika suku bunga AS tetap tinggi. Meskipun dampaknya akan bervariasi di setiap wilayah, analis memperingatkan bahwa negara-negara dengan tingkat utang dalam dolar yang tinggi dapat menghadapi tekanan keuangan yang meningkat dalam waktu dekat [5].
Sumber: