Dunia keuangan institusional sedang mengalami perubahan besar. Selama beberapa dekade, utang pemerintah AS dan emas telah menjadi dua pilar utama arus modal global, menawarkan stabilitas di masa krisis. Namun, pesaing baru mulai muncul: Bitcoin. Seiring semakin banyak perusahaan dan investor institusi mengalokasikan Bitcoin ke dalam kas mereka, cryptocurrency ini tidak hanya menantang dominasi aset safe-haven tradisional, tetapi juga mendefinisikan ulang arsitektur pelestarian modal di era ketidakpastian makroekonomi.
Bitcoin treasuries—di mana institusi dan perusahaan memegang Bitcoin sebagai aset cadangan strategis—telah berkembang dari eksperimen kecil menjadi strategi keuangan arus utama. Pada tahun 2025, lebih dari 180 perusahaan di seluruh dunia, termasuk 79 perusahaan publik, telah mengadopsi Bitcoin sebagai bagian dari neraca mereka. MicroStrategy, misalnya, telah bertransformasi menjadi entitas yang berfokus pada Bitcoin, mengakumulasi lebih dari 628.791 BTC dengan nilai melebihi $71,2 miliar. Demikian pula, kepemilikan DDC Enterprise sebanyak 1.008 BTC menempatkannya di antara 42 perusahaan dengan Bitcoin treasury terbesar di dunia. Langkah-langkah ini bukan spekulatif, melainkan strategis, didorong oleh keunggulan struktural Bitcoin: pasokan terbatas 21 juta unit, korelasi rendah dengan aset tradisional, dan tingkat inflasi pasca-halving sebesar 0,83%.
BITCOIN Act AS tahun 2025 dan persetujuan spot Bitcoin ETF—seperti IBIT milik BlackRock dan FBTC milik Fidelity—semakin menormalkan peran Bitcoin dalam portofolio institusional. Perkembangan ini memungkinkan bahkan investor konservatif, seperti dana pensiun, untuk mengalokasikan modal ke Bitcoin dengan keyakinan lebih besar. Hasilnya? Masuknya dana sebesar $132,5 miliar ke spot Bitcoin ETF hingga Agustus 2025, menandakan perubahan besar dalam cara institusi memandang pelestarian modal.
Selama bertahun-tahun, obligasi Treasury AS telah menjadi aset safe-haven default, didukung oleh status dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Namun, kebangkitan Bitcoin sebagai aset treasury mulai mengikis dominasi ini. Lihat saja angkanya: Antara 2023 dan 2025, Bitcoin memberikan imbal hasil 375,5%, jauh melampaui emas yang hanya 13,9% dan S&P 500 yang -2,9%. Kinerja ini membuat Bitcoin menjadi alternatif menarik bagi institusi yang ingin melindungi diri dari inflasi dan risiko geopolitik.
Selain itu, sifat struktural Bitcoin—yang terdesentralisasi dan tahan terhadap manipulasi bank sentral—menjadikannya penyeimbang yang menarik terhadap mata uang fiat. Di dunia di mana inflasi rata-rata 2–5% per tahun dan bank sentral dikritik karena mencetak uang berlebihan, pasokan tetap Bitcoin menawarkan kontras yang mencolok. U.S. Strategic Bitcoin Reserve, yang didirikan pada 2025, menjadi bukti perubahan ini, saat pemerintah mulai mengakui peran Bitcoin dalam lindung nilai terhadap devaluasi fiat.
Daya tarik Bitcoin terletak pada kemampuannya mendiversifikasi risiko dan mengoptimalkan imbal hasil di pasar yang volatil. Studi oleh Grayscale dan Bitwise menunjukkan bahwa alokasi 5% ke Bitcoin dalam portofolio saham-obligasi 60/40 tradisional dapat meningkatkan imbal hasil tahunan dan rasio Sharpe. Sebagai contoh, rasio Sharpe MicroStrategy sebesar 1,57 dan rasio Sortino sebesar 2,84—jauh melampaui metrik Bitcoin secara mandiri—menunjukkan bagaimana alokasi strategis dapat memperkuat imbal hasil yang disesuaikan dengan risiko.
Investor institusi juga memanfaatkan fleksibilitas Bitcoin. Tidak seperti emas atau U.S. Treasuries, Bitcoin dapat dimanfaatkan melalui penerbitan ekuitas, penawaran obligasi, atau pinjaman. Penawaran saham preferen Stretch MicroStrategy senilai $2,5 miliar untuk mendanai pembelian 21.021 BTC pada Juli 2025 menjadi contoh inovasi ini. Namun, strategi seperti ini memiliki risiko: posisi leverage memperbesar kerugian jika harga Bitcoin turun, dan kompleksitas operasional dapat mengalihkan fokus dari bisnis inti.
Meski mengalami momentum, adopsi institusional Bitcoin tidak tanpa hambatan. Volatilitas tetap menjadi perhatian, dengan volatilitas 30 hari Bitcoin berkisar antara 16,32% hingga 21,15%. Ketidakpastian regulasi juga masih ada, karena pemerintah masih mencari cara mengklasifikasikan dan mengenakan pajak atas kepemilikan Bitcoin. Misalnya, kinerja harga saham MicroStrategy yang kurang baik—diperdagangkan di $330 pada 2025 meski Bitcoin mencapai $124.000—menyoroti tantangan menyeimbangkan strategi Bitcoin treasury dengan ekspektasi pemegang saham.
Namun, kasus makroekonomi untuk Bitcoin tetap kuat. Seiring inflasi global yang terus berlanjut dan ketegangan geopolitik meningkat, peran Bitcoin sebagai lindung nilai terhadap devaluasi fiat dan perang mata uang kemungkinan akan berkembang. Investor institusi disarankan untuk mengalokasikan 1–5% dari portofolio mereka ke Bitcoin, terutama di lingkungan berisiko tinggi, sambil tetap menjaga praktik manajemen risiko yang disiplin.
Bitcoin treasuries bukan sekadar tren keuangan—mereka mewakili penataan ulang struktural tentang bagaimana institusi memandang pelestarian modal. Pada tahun 2025, kapitalisasi pasar Bitcoin telah melampaui $1,5 triliun, dengan 6% dari total pasokannya dipegang oleh entitas negara dan perusahaan. Pergeseran ini menantang dominasi U.S. Treasuries dan emas, menawarkan paradigma baru untuk diversifikasi di dunia yang penuh ketidakpastian.
Bagi investor, pesannya jelas: Bitcoin bukan lagi aset spekulatif, melainkan komponen strategis dari portofolio modern. Seiring kerangka regulasi yang semakin matang dan infrastruktur institusional yang berkembang, peran Bitcoin dalam arus modal global hanya akan tumbuh. Pertanyaannya bukan lagi apakah Bitcoin akan mengganggu aset safe-haven tradisional, tetapi seberapa cepat dunia akan beradaptasi dengan realitas baru ini.