Inovasi terbaru Ripple—demo langsung dari platform Ripple Payments—telah mendefinisikan ulang percakapan seputar transaksi lintas negara. Dengan memanfaatkan XRP sebagai jembatan likuiditas, platform ini memungkinkan penyelesaian hampir instan dan berbiaya rendah antara mata uang fiat dan digital, melewati ketidakefisienan sistem lama seperti SWIFT [1]. Ini bukan sekadar peningkatan teknis; ini adalah langkah strategis yang menempatkan XRP sebagai tulang punggung infrastruktur keuangan baru.
Demo ini menyoroti proposisi nilai unik XRP: ia bertindak sebagai perantara netral, memfasilitasi konversi mulus antara stablecoin dan fiat tanpa perantara atau biaya tambahan [2]. Bagi institusi, ini berarti risiko rekanan dan kompleksitas operasional yang berkurang. Pertimbangkan Ripple USD (RLUSD), stablecoin yang menjadi inti ekosistem ini. Dengan menjadikan RLUSD sebagai jangkar transfer global dan menggunakan XRP untuk likuiditas instan, Ripple menciptakan kerangka kerja terpadu yang menjembatani keuangan tradisional, pembayaran korporat, dan DeFi [1].
Pendekatan ini sudah mulai mendapatkan perhatian. Perusahaan Jepang Gumi baru-baru ini menginvestasikan ¥2,5 miliar ($17 juta) dalam XRP untuk membangun infrastruktur pembayaran lintas negara, memprioritaskan utilitas daripada spekulasi [1]. Sementara itu, layanan On-Demand Liquidity (ODL) Ripple memproses volume $1,3 triliun pada Q2 2025, mendukung lebih dari 300 institusi keuangan [2]. Angka-angka ini bukan hanya mengesankan—mereka menandakan perubahan cara institusi memandang blockchain: bukan sebagai alat spekulatif, tetapi sebagai solusi yang dapat diskalakan.
CTO Ripple, David Schwartz, menekankan bahwa institusi semakin terbuka terhadap transaksi on-chain, terutama di lingkungan yang diatur [5]. Ini sangat penting. Selama bertahun-tahun, kurangnya kejelasan hukum seputar XRP menghambat adopsi. Namun pasca gugatan SEC, kemitraan Ripple dengan bank sentral dan perusahaan remitansi semakin cepat. Sebagai contoh, stablecoin yang didukung pemerintah Palau (PSC) dan digital ngultrum Bhutan keduanya mengandalkan infrastruktur XRP, menempatkannya sebagai kunci utama di era CBDC [4].
Ripple tidak hanya menargetkan bank—ia juga merangkul DeFi. Peluncuran RLUSD baru-baru ini di Aave’s Horizon RWA Market menandai langkah penting dalam mengintegrasikan likuiditas XRP ke dalam ekosistem terdesentralisasi [1]. Langkah ini menantang pesaing seperti Circle (USDC) dan Stripe, yang juga menjajaki sistem penyelesaian multi-aset tetapi tidak memiliki kecepatan dan netralitas XRP [4].
Selain itu, peran XRP dalam memungkinkan konversi instan antara stablecoin yang didukung fiat (misalnya, USDC, EURS) menjadikannya aset penting untuk penyelesaian lintas negara. Tidak seperti blockchain lain, desain XRP memprioritaskan interoperabilitas, memungkinkannya berfungsi sebagai “Swiss Army knife” untuk keuangan global [3].
Meskipun aktivitas XRP Ledger turun 30%–40% pada Q1 2025, ini mencerminkan perubahan strategi: institusi menyelesaikan transaksi secara off-chain untuk mematuhi batasan regulasi, namun tetap memanfaatkan likuiditas XRP [5]. Ini bukan kemunduran—ini adalah tanda kedewasaan. Seiring bank sentral dan korporasi mengadopsi CBDC dan aset digital, peran XRP sebagai jembatan hanya akan semakin berkembang.
Bagi investor, pesannya jelas: XRP bukan sekadar token—ini adalah infrastruktur. Dengan hambatan regulasi yang telah terlewati dan ekosistem mitra yang terus berkembang, Ripple sedang membangun masa depan di mana pembayaran lintas negara semudah beberapa ketukan tombol.
**Sumber:[1] Ripple unveils interactive demo for its payments platform [2] Ripple Launches Interactive Demo for Payments Platform [3] Ripple Unveils XRP-Powered Payments Demo Amid [4] XRP Price Surge and Strategic Partnerships: 2-Year Outlook [5] Ripple's Schwartz defends low XRPL volume