Jepang, yang secara historis bersikap konservatif setelah peretasan Coincheck pada 2018, akhirnya bergerak dari kerangka hukum menuju implementasi stablecoin.
Analis, termasuk The Diplomat, memandang token yen Jepang sebagai penyeimbang ketergantungan pada dolar dalam perdagangan global. BeInCrypto melaporkan bahwa pusat keuangan Asia semakin memperketat persaingan seiring inisiatif stablecoin yang menyebar di kawasan tersebut.
Perubahan terbaru terjadi pada September 2025, ketika Japan Post Bank mengonfirmasi rencana untuk menerbitkan deposit token pada 2026 menggunakan infrastruktur DeCurret DCP. Peluncuran ini merupakan bagian dari strategi besar Jepang untuk membangun DCJPY sebagai jalur tepercaya untuk penyelesaian tokenisasi.
Pada bulan Agustus, SBI VC Trade menandatangani perjanjian dasar dengan SMBC dan Ripple untuk bersama-sama mengembangkan token berbasis yen dan stablecoin dolar RLUSD milik Ripple untuk Jepang.
Pada saat yang sama, JPYC bersiap meluncurkan JPYC EX, platform resmi penerbitan dan penebusan mereka. CEO Noritaka Okabe mengatakan kepada Reuters bahwa permintaan JPYC pertama-tama akan datang dari institusi domestik sebelum berkembang secara global, didukung 1:1 dengan simpanan yen dan obligasi pemerintah Jepang.
Okabe membayangkan JPYC sebagai “Circle-nya Jepang,” menyediakan yen digital yang stabil dan patuh untuk pasar domestik maupun internasional.
Sementara itu, perusahaan perangkat lunak Asteria meluncurkan adapter no-code yang mengintegrasikan JPYC ke dalam alur kerja perusahaan. Perusahaan ini mengadopsi penyelesaian stablecoin dalam sistem korporatnya.
Revisi Payment Services Act Jepang pada 2023 melegalkan stablecoin sebagai instrumen pembayaran elektronik, dengan menetapkan tiga kategori:
Amandemen 2025 menambahkan lisensi perantara, melonggarkan aturan aset trust, dan mewajibkan penyimpanan cadangan domestik oleh FSA. Kebijakan Administratif FSA 2025 secara eksplisit mencantumkan stablecoin yen sebagai alat untuk “meningkatkan pembayaran.”
Reformasi ini menjadikan Jepang sebagai studi kasus terkemuka di Asia, menunjukkan bagaimana regulasi dapat mempercepat inovasi tanpa mengorbankan kepatuhan.
Sementara itu, pendekatan berlapis Jepang berbeda dengan Amerika Serikat, di mana USDC dan USDT mendominasi pasar senilai $150 billion. Bank of Japan Digital Money Forum menekankan pentingnya fitur kepatuhan seperti fungsi pembekuan, kontrol izin, dan buku besar yang dapat diaudit.
Bank-bank regional juga bergerak dari pilot ke uji coba praktis. Hokuriku Bank sedang mengembangkan, bersama Soft Space, sistem SoftPOS pertama di dunia yang mendukung deposit token pada tahun fiskal 2026.
Minna Bank, bersama Solana Japan, Fireblocks, dan TIS, sedang menguji penyelesaian RWA dan transfer lintas negara.
BeInCrypto melaporkan bahwa bahkan produsen suku cadang otomotif Jepang berinvestasi di startup stablecoin, menandakan pergeseran industri yang lebih luas menuju keuangan berbasis blockchain.
Dua pendorong utama menjelaskan dorongan Jepang. Pertama adalah kejelasan regulasi: Tidak seperti sistem terfragmentasi di AS, Jepang kini memiliki kerangka hukum yang lengkap.
Dalam wawancara dengan BeInCrypto, Dr. Sam Seo, Chairman Kaia, mengatakan:
“Jepang mengambil pendekatan yang sangat berbeda. Kejelasan regulasinya memungkinkan stablecoin digunakan dalam ekonomi riil, bukan hanya sebagai cadangan. Itu menjadikan token yen sebagai model alternatif Asia.”
Sementara fintech JPYC bergerak lebih dulu, SMBC, Japan Post Bank, dan Monex Group masuk dengan model deposit atau trust. Monex mengonfirmasi diskusi seputar stablecoin remitansi namun menegaskan belum ada keputusan penerbitan resmi.
Dampak Lebih Luas
Studi yang ditugaskan FSA tahun 2025 menekankan bahwa pertumbuhan token yen harus menyeimbangkan efisiensi dengan pencegahan transfer ilegal—tema yang juga digaungkan oleh BOJ.
Fakta Penting
Pada 2026, Jepang dapat memiliki beberapa token yen: model transfer dana JPYC, trust coin SMBC, deposit token dari Japan Post Bank, dan kasus penggunaan remitansi Monex.
Kelangsungan mereka akan bergantung pada adopsi dan likuiditas. Seperti dicatat The Diplomat, keberhasilan dapat menandai “kebangkitan keuangan digital Jepang.”
Pasar AS tumbuh dalam skala besar tanpa hukum yang seragam, sementara MiCA Eropa, sejak 2024, memberikan kejelasan bagi UE. Model Jepang, yang menggabungkan bank, fintech, dan regulator, menonjol di Asia sebagai yang mengutamakan kepatuhan.
JPYC (JPYC EX) | Funds-transfer | Fall 2025 | First licensed yen stablecoin |
Hokuriku Bank + Soft Space | Deposit (POS) | FY2026 | PCI MPoC SoftPOS |
Minna Bank + Solana Japan | Hybrid exploration | Ongoing | RWA and cross-border settlement |
Japan Post Bank | Deposit token | FY2026 | Deposit-insured, NFT/ST use |
SBI + SMBC + Ripple | Mixed (yen + RLUSD) | 2025–2026 | Cross-border settlement |
Monex Group | Remittance stablecoin | TBD | Corporate / international focus |
Setelah peretasan Coincheck sebesar ¥79 billion pada 2018 dan pelanggaran DMM Bitcoin pada 2024, regulator memperketat aturan. Hal ini menunda inovasi namun meletakkan dasar bagi uang digital yang lebih aman.
Makalah NICMR tahun 2022 berpendapat bahwa tanpa kepercayaan, stablecoin berisiko menjadi “uang buruk.” Sistem dua jalur Jepang saat ini—deposit dan instrumen elektronik—langsung menjawab kritik tersebut.
Risiko yang dihadapi antara lain: