iShares Silver Trust (SLV), sebuah ETF berbasis fisik yang melacak harga perak, telah lama menjadi barometer sentimen investor di pasar logam mulia. Namun, kinerjanya selama masa resesi ekonomi mengungkapkan cerita yang lebih dalam: sebuah cerita yang dibentuk tidak hanya oleh kekuatan makroekonomi, tetapi juga oleh bias psikologis para investor. Di inti dari dinamika ini terdapat reflection effect, sebuah konsep ekonomi perilaku yang menjelaskan bagaimana individu beralih antara perilaku menghindari risiko dan mencari risiko tergantung pada apakah mereka merasa berada di wilayah keuntungan atau kerugian.
Prospect theory, yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky, berpendapat bahwa investor bukanlah pelaku rasional, melainkan didorong oleh respons emosional terhadap hasil yang mereka persepsikan. Selama periode ketidakpastian ekonomi, hal ini memunculkan perilaku yang sangat berbeda. Misalnya, ketika harga perak naik di tengah melemahnya dolar AS atau tren dekarbonisasi, investor di "wilayah keuntungan" cenderung mengunci keuntungan karena takut terjadi pembalikan. Sebaliknya, selama masa penurunan, investor di "wilayah kerugian" seringkali menambah posisi, berharap dapat menutup kerugian—pola yang memperkuat volatilitas pada aset seperti SLV.
Data historis dari 2008 hingga 2025 menegaskan dualitas ini. Selama Krisis Keuangan Global 2008, harga perak turun sebesar 8,7%, mengungguli penurunan S&P 500 sebesar 37,4%. Ketahanan yang moderat ini menjadikan perak sebagai aset safe-haven yang lemah, dengan investor memandangnya sebagai lindung nilai terhadap devaluasi mata uang. Namun, selama pandemi 2020, perak berkinerja lebih buruk daripada S&P 500, turun 9% seiring permintaan industri yang anjlok. Rasio emas-perak (GTS-ratio) melonjak dari 85 menjadi 112, menandakan perak dinilai terlalu rendah dibandingkan emas—pemicu psikologis yang kemudian mendorong aksi beli spekulatif selama reli jangka pendek.
iShares Silver Trust (SLV) sangat sensitif terhadap reflection effect karena keterkaitannya langsung dengan perak fisik. Pada 2025, misalnya, ketegangan geopolitik dan pengumuman tarif era Trump menyebabkan SLV anjlok 11,6% dalam empat hari. Investor yang sebelumnya berada di "wilayah keuntungan" selama reli 17% pada Q1 2025 beralih ke perilaku menghindari risiko, menjual saham untuk menjaga nilai. Sementara itu, mereka yang masih berada di "wilayah kerugian" dari penurunan 2022–2023 melihat penurunan tersebut sebagai peluang beli, menambah posisi mereka. Dualitas ini menciptakan lingkungan yang sangat volatil, dengan analis UBS memproyeksikan potensi rebound sebesar 25,7% pada akhir 2025.
Struktur ETF memperparah ayunan perilaku ini. Sebagai "pure play" pada perak, nilai SLV secara transparan terkait dengan harga spot, menjadikannya pengganda sentimen investor. Misalnya, selama aksi jual 2025, arus keluar sebesar 16 juta saham mencerminkan aksi jual panik, sementara H1 2025 mencatat arus masuk bersih sebesar 95 juta ons seiring kembalinya optimisme. Volatilitas yang didorong oleh likuiditas ini menyoroti peran reflection effect dalam membentuk dinamika pasar.
Sementara ekonomi perilaku menjelaskan pergerakan jangka pendek, fundamental jangka panjang untuk perak tetap kuat. Peran logam ini dalam teknologi ramah lingkungan—seperti panel surya dan kendaraan listrik—telah mendorong permintaan industri, dengan Silver Institute memproyeksikan pertumbuhan berkelanjutan. Namun, angin penopang struktural ini sering berbenturan dengan psikologi investor. Selama periode 2020–2023, misalnya, permintaan industri turun, tetapi permintaan investor melonjak seiring pasar pulih. Dualitas ini menegaskan perlunya investor menyeimbangkan wawasan perilaku dengan analisis struktural.
Bagi investor, memahami reflection effect sangat penting untuk mengelola eksposur SLV. Berikut tiga strategi utama:
Diversifikasi Bias Perilaku: Portofolio hibrida yang menggabungkan SLV dengan aset lain (misalnya, tembaga atau platinum) dapat mengurangi ekstrem reflection effect. Misalnya, selama penurunan 2022–2023, investor yang memegang perak dan emas sama-sama mendapat manfaat dari daya tarik safe-haven emas yang lebih kuat sekaligus tetap menangkap potensi rebound perak.
Manfaatkan Indikator Teknikal: Alat seperti RSI (Relative Strength Index) dan moving average dapat membantu mengidentifikasi kondisi overbought atau oversold. Pada 2025, RSI sebesar 56 dan moving average 20 hari sebesar $34,48 memberikan sinyal awal potensi rebound, mengimbangi aksi jual yang didorong kepanikan. Backtesting historis dari 2022 hingga saat ini menunjukkan bahwa membeli SLV saat RSI menunjukkan kondisi oversold dan menahan selama 30 hari perdagangan menghasilkan rata-rata return 6,84%, dengan beberapa perdagangan mencapai keuntungan hingga 15,46%. Namun, strategi ini juga mengalami penurunan, dengan return terendah -2,86%, menyoroti perlunya kehati-hatian dan manajemen risiko.
Reflection effect telah membentuk perilaku investasi perak secara mendalam dari 2008 hingga 2025, memperkuat volatilitas pasar dan memengaruhi keputusan investor. Sementara kinerja SLV selama masa resesi ekonomi mencerminkan dinamika psikologis ini, potensi jangka panjangnya tetap berakar pada permintaan struktural. Bagi investor, kuncinya terletak pada pengenalan interaksi antara ekonomi perilaku dan fundamental pasar—menggunakan alat seperti analisis teknikal dan portofolio terdiversifikasi untuk menavigasi gelombang psikologi investor yang tak terduga.
Di era ketidakpastian geopolitik dan transisi energi, peran ganda perak sebagai aset moneter dan komoditas industri akan terus menguji ketahanan investor. Mereka yang menguasai reflection effect mungkin tidak hanya mampu bertahan dari gejolak pasar, tetapi juga berkembang di dalamnya.